53 Tahun Rakyat Papua Tak Rasakan Sejahtera

0
1158
Ilustrasi
Ilustrasi
Ilustrasi

MBNews – Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia (DPP-AMPTPI) kecewa lantaran pemerintah Indonesia tak berpihak pada masyarakat asli Papua. Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua dinilai belum direalisasikan.

Sekretaris Jenderal DPP-AMPTPI Januarius Lagowan menuturkan, selama 53 tahun Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka tidak merasa perubahan dari sisi kesejahteraan. Sebaliknya, kata dia, justru ada upaya pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan.

“Lonceng kematian rakyat Papua-Melanesia semakin nyata. Pelan dan pasti bahwa rakyat Papua ada dalam dunia kepunahan ‘terancam’ akibat dari biasnya kebijakan pemerintah di Tanah Papua sejak 1 Mei 1963,” ungkap Januarius, seperi yang dikutip merdeka.com, Senin (25/5).

Pihaknya juga menyoroti keberadaan Freeport yang justru tidak memberikan dampak signifikan pada kesejahteraan rakyat Papua. Dari hasil konferensi di Bandung pertengahan Mei 2015, DPP-AMPTPI menghasilkan 8 rekomendasi:

  1. Kami mendukung penuh terbentuknya wadah koordinasi United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) dan diterima ULMWP sebagai anggota penuh Melanesia Speheard Group (MSG) Tahun 2015 dan mendorong ULMWP masuk ke Pasifik Island Forum (PIF) dan didaftarkan ke Komisi C-24 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  2. Mendesak kepada PT. Freeport Mc Moran and Gold/PT. Freeport Indonesia melakukan perundingan segi tiga antara Pemerintah Indonesia, Pemilik Tanah/Rakyat Papua dengan PT Freeport Indonesia sebelum dilakukan penandatanganan kontrak karya III pada 2021. Jika tidak dilakukan sesuai dengan tuntutan kami, maka kami sebagai pemilik hak Ulayat akan melakukan penutupan operasi penambangan PT Freeport.
  3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka akses bagi jurnalis asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati hak asasi manusia untuk masuk di Tanah Papua.
  4. Menolak semua bentuk pemekaran kabupaten/kota dan Provinsi di atas tanah Papua.
  5. Pemerintah Indonesia segera membentuk Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Hak Asasi Manusia (KPP HAM) atas kasus penembakan Paniai berdarah pada 6 Desember 2014 dan Yahukimo pada Maret 2015, penyelesaian kasus Wamena berdarah 2003 dan Wasior berdarah 2003 untuk disidangkan di peradilan Hak Asasi Manusia serta sebagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia di atas Papua.
  6. Pemerintah Indonesia segera menarik pasukan organik dan non-organik serta menghentikan pengembangan semua infrastruktur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) di tanah Papua dan secara khusus menolak tegas rencana pembangunan Markas Komando Brimob di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua.
  7. Mendesak Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan para Bupati/Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk melakukan sensus khusus Orang Asli Papua (OAP) setiap tahun, dengan mengeluarkan Perdasus tentang pembatasan penduduk Migran dan membuat Kartu Tanda Penduduk OAP.
  8. Mendesak Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat untuk menutup semua tempat penjualan minuman keras/beralkohol dan prostitusi Seks Komersial di atas Tanah Papua.

“Oleh karena itu, semua pihak bangkit berdiri bergandeng tangan bersatu selamatkan Papua,” tutup Januarius. (merdeka.com)