Tradisi Perang Topat Menggambarkan Kerukunan Umat Beragama di dalam Lombok

0
195

merahbirunews.com – Mataram – Lombok dihuni oleh warga yang berbeda suku kemudian agama, namun mereka miliki cara untuk menjaga kerukunan. Salah satu cara itu adalah tradisi Perang Topat. Tradisi ini dilaksanakan oleh dua suku dan juga agama, yakni suku Sasak yang tersebut beragama Islam juga suku Bali penganut agama Hindu.

Event ini menggambarkan kerukunan warga yang tersebut memeluk agama Islam juga Hindu. Mereka menyatu tanpa ada pertentangan dan juga konfrontasi. Hingga ketika ini, kerukunan masih tecermin pada waktu ritual keagamaan maupun pada Perang Topat di area satu kawasan. Lokasinya di tempat Taman Lingsar, Daerah Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Perang Topat merupakan Warisan Budaya Takbenda (WBTB) yang diakui secara nasional melalui surat langkah Mentri Pendidikan dan juga Kebudayaan RI, Nomor 19255/mpk.F/kb/2020.

Tradisi ini dilaksanakan di tempat pada kawasan Pura Lingsar. Di pada kawasan yang dimaksud terdapat dua bangunan yang dimaksud disakralkan oleh masing-masing umat, yakni Pura Gaduh yang dimaksud menjadi bangunan sakral umat Hindu lalu bangunan Kemaliq yang disakralkan umat Islam.

Kepala Dinas Peluang Usaha Pariwisata Kabupateen Lombok Barat M. Fajar Taufiq mengatakan, Perang Topat sebagai salah satu event yang tersebut masuk pada Kharisma Event Nusantara (KEN). Event budaya ini harus memiliki daya ungkit untuk pelaku sektor ekonomi kreatif di dalam Desa Lingsar. “Serta memberikan dampak pada peningkatan kunjungan wisatawan baik wisnus juga wisman,” katanya.

Semua penduduk harus berkolaborasi sama-sama di menyokong pelestarian budaya ini. Penyelenggaraan Perang Topat dilaksanakan sejak 20 – 25 November serta acara puncak pada tgl 27 November 2023.

Masyarakat Desa Lingsar selalu mengatur ritual Perang Topat pada hari ke-15 bulan ketujuh pada penanggalan Sasak Lombok. Tanggal itu disebut purnama sasih kepituq (purnama bulan ketujuh), atau hari ke-15 bulan keenam pada penanggalan Hindu Bali, yang tersebut disebut purnama sasi keenem (purnama bulan keenam).

Event Perang Topat ini dilaksanakan pada sore hari, pasca salat asar, atau di bahasa Sasak “raraq kembang waru” (gugur bunga pohon waru). Tanda itu dipakai oleh orang tua zaman dulu untuk mengetahui waktu salat asar.

Sebelum prosesi Perang Topat dimulai, umat Hindu terlebih dahulu sembahyang di area pura, disebut dengan upacara Pujawali Piodalan Pura Lingsar. Kebiasaan ini dilaksanakan pada hari yang dimaksud bersamaan dengan prosesi Perang Topat.

Setelah bunga waru gugur, prosesi pertempuran topat dimulai dengan mengelilingkan sesajian yang mana terdiri dari makanan, buah, dan juga beberapa jumlah hasil bumi, sebagai sarana persembahyangan pada  Purwadaksina yang berada di dalam kawasan bangunan Kemaliq. Prosesi ini disertai oleh kedua umat beserta seluruh tokoh, baik dari Hindu Bali maupun Islam Sasak diiringi oleh gamelan, gendang beleq lalu baris lingsar.

Kedua umat berkumpul pada masing-masing titik yang tersebut sudah ditentukan. Umat Hindu berkumpul pada halaman Pura Gaduh, sedangkan umat Islam dalam halaman bangunan Kemaliq. Perang Topat dimulai ketika tokoh yang mana dihormati kedua kubu, melempar ketupat secara simbolis untuk pertama kalinya, lalu dihadiri oleh yang tersebut lain. 

SUPRIYANTHO KHAFID

Unik, Perang Topat: Tanpa Amarah Namun Penuh Perdamaian