Kontroversi Legalisasi Aborsi: Aborsi Halal Bagi Korban Perkosaan, Asalkan…

0
1148
Ilustrasi
Ilustrasi
Ilustrasi
Ilustrasi

MBNews, Peraturan pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjadi kontroversi terkait adanya legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan. Dalam PP tersebut, dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. Beberapa pihak tidak setuju dengan adanya peraturan pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden sebelumnya yaitu Presiden SBY dan perlu dikaji ulang, tapi ada sebagian pihak yang setuju aborsi dalam keadaan tertentu.

Polemik di kalangan ulama mencuat sejak pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai pengecualian larangan aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan dan penderita indikasi darurat medis. Namun, pihak Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) akhirnya menegaskan posisi bahwa aborsi halal dalam kondisi tertentu.

“Berdasarkan hasil rapat pengurus kami memang keputusannya aborsi diperbolehkan bagi perempuan yang diperkosa dan menderita depresi luar biasa,” kata Ketua Syuriah PBNU Masdar Farid Mas’udi saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (17/11). Keputusan tersebut disepakati dalam Musyawarah Nasional PBNU pada awal November ini.

Lelaki yang juga menjabat sebagai wakil ketua Dewan Mesjid Indonesia ini menjelaskan pengguguran kandungan tersebut dihalalkan asal usia kandungan belum mencapai 40 hari setelah terjadinya pembuahan.

Tak hanya itu, aborsi juga diperbolehkan hanya dalam keadaan yang darurat di mana kehamilan yang tidak diinginkan tersebut menyebabkan depresi akut yang membahayakan jiwa dan raga perempuan bersangkutan.

“Tindakan aborsi mesti dilakukan setelah adanya pernyataan dari psikolog mengenai kondisi perempuan tersebut dan dilaksanakan di rumah sakit yang punya otoritas dari pemerintah, ” kata dia menegaskan.

Masdar selanjutnya mengatakan hingga saat ini masih banyak perdebatan muncul diantara para kyai. Beberapa dari mereka memberikan pendapat yang lebih ketat mengenai pengecualian aborsi. Tindakan itu atas dalil apapun tidak dibenarkan karena dinilai menyangkal kehidupan. Sementara, beberapa yang lain memberikan pandangan yang lebih longgar dari tafsir hukum Islam mengenai aborsi, yakni halal selama niatanya melindungi kepentingan perempuan sebagai korban.

Meski demikian, Masdar menyampaikan pihaknya tetap melarang tindakan aborsi yang diperbuat karena ingin menghilangkan rasa malu akibat melakukan hubungan badan sebelum menikah.

“Para kyai tetap mengharamkan aborsi yang dilakukan untuk tujuan tersebut,” ujar dia.

Sebelumnya, pemerintah melakukan terobosan hukum dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 mengenai pengecualian aborsi atas dasar indikasi darurat medis dan pemerkosaan.

Indikasi kedaruratan medis dalam PP tersebut adalah keadaan di mana kehamilan yang terjadi dapat mengancam nyawa juga kesehatan ibu dan janin serta berpotensi menyebabkan penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki. Sementara, perempuan yang diperkosa boleh melakukan aborsi asalkan tindakan disertai dengan surat keterangan dokter, penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.(cnnindonesia.com/XYD)