Rela Jadi Pemulung Demi Sekolah

0
1454
Ilustrasi
Ilustrasi
Ilustrasiotivas

MBNews – Setiap siang selepas pulang sekolah, masyarakat di sekitar Jalan Sudirman, Denpasar, sudah tidak heran melihat pemandangan dua bocah bersaudara mengorek-ngorek sampah. Kedua bocah ini mencari sampah yang bisa dijual.

Sambil membawa karung, keduanya mengumpulkan apa saja yang bisa dijual kembali. Kadang keduanya juga terlihat di sekitar kampus Universitas Udayana. Kedua pemulung yang masih berstatus pelajar ini bukanlah warga pendatang. Mereka warga Bali yaitu Ni Luh Sinta Oktaviani (15) dan adiknya Made Raka Febrianta (13). Sudah hampir setahun kegiatan ini mereka geluti, bukan untuk sekadar bisa makan tetapi untuk sebuah impian menamatkan sekolah hingga tingkat SMA.

“Yang penting bisa sekolah, semua pungut sampah, karena semua pada buang sampah. Kenapa harus malu? Nanti kalau saya jadi kaya, saya akan katakan saya kaya karena sampah,” ucap Ni Luh.

“Saya mau jadi tentara. Sekarang harus bisa sekolah dulu,” sahut sang adik.

Ni Luh sekolah di SMP PGRI 6 Denpasar, kelas IX. Sementara itu Raka duduk di kelas VII di sekolah yang sama. Mereka mengaku tidak pernah malu sekolah walau dijauhi teman-teman atau saat memulung dilihat kawan-kawannya.

“Kadang di kantin sekolah saya tunggui teman-teman buang sampah botol plastik minuman,” kata Raka.

Profesi pemulung dilakoni mereka berdua setelah ayahnya yang bekerja sebagai tukang pungut sampah di Singaraja tidak lagi digaji jasanya oleh pengelola selama 2 tahun.

“Kita dari Singaraja ke Denpasar. Dulu di Singaraja bapak angkut sampah digaji. Sekarang sudah tidak lagi, setelah 2 tahun tidak terima gaji. Kita terpaksa jadi pemulung,” ungkap Ni Luh yang mengaku selalu berpesan pada adiknya tidak mengeluh dan terus berusaha untuk bisa sekolah.

Ironisnya, ketika memulung keduanya kerap membawa buku pelajaran agar bisa mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan oleh guru mereka. “Kalau ada PR dan akan ujian kita bawa buku. Kita bisa pulangnya sore kadang juga malam. Kadang adik nomor tiga masih SD juga ikut, kalau yang paling kecil baru 5 tahun di rumah sama ibu,” tutur Ni Luh sambil mengusap air mata. (merdeka.com)